Tree Journey #2 “Scariest Moment I have but Also Memorable One”

Baju yang dikenakan orang itu dipenuhi lumpur. Jika diperhatikan, bisa terlihat beberapa bagian yang robek di bajunya. Dari kejauhan berjalan mendekat. Semakin mendekat. Aku yang saat itu tengah sendirian di tengah hutan mencoba untuk berfikir positif. “Ah, mungkin orang itu hanya lewat saja”. Nyatanya, orang itu benar-benar menghampiriku. Tak dapat kupungkiri, aku takut setengah mati. Wajah orang itu tak nampak bersahabat. Tak ada garis senyum sedikitpun di wajahnya. Dalam benak, sudah terbayangkan banyak scenario buruk. Tidak usah kujelaskan. Kalian bisa mengira sendiri apa skenario buruk ketika ada seorang gadis remaja sendirian di hutan dan dihampiri lelaki berpenampilan menyeramkan. Pikiran untuk kabur tentu saja ada dan sejujurnya aku benar-benar hendak untuk lari meninggalkan sepedaku.

Sebelum melanjutkan, bagaimana aku bisa berakhir di tengah hutan?

-----------

Pernahkah kalian merasa terinspirasi setelah melihat film?

Baru saja terjadi padaku beberapa hari yang lalu. Tidak pernah menyangka kalau akan tiba saatnya aku melihat documenter movie, apalagi tentang tumbuh-tumbuhan juga pepohonan. Aneh, tapi suatu kemajuan yang baik.

Namun, ada suatu perasaan yang muncul selagi aku menonton documentary movie itu. Seperti rasa rindu. Rindu terhadap alam. Tentu saja, bagaimana tidak? Sudah terhitung berapa bulan sejak aku pergi mampir ke hutan atau destinasi alam.

Biar kugambarkan. Bertajuk Healing Documentary : Dear Tree, film documenter ini membahas tentang salah satu pohon yang telah hidup dan bertahan melihat lika-liku kehidupan selama lebih dari 500 tahun. Iya setengah abad!

Healing Documentary Dear Tree

Melihat pohon itu dari layar laptop, entah kenapa muncul berbagai perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin jika bisa dianalogikan, seperti melihat barang bersejarah berusia 500 tahun yang dipajang berderet di museum. Sakral dan suci.

Bisa dikatakan Pohon yang bernama Poknang dalam dialek Pulau Jeju, Korea Selatan ini sudah menyaksikan banyak perubahan kehidupan, dari menyaksikan manusia yang perlahan menua sampai menyaksikan manusia terlahir kembali. Ya, pohon Poknang ini adalah saksi perputaran kehidupan manusia.

Poknang : 4 pohon yang berusia lebih dari 500 tahun

Di Malam yang sejuk berkat air hujan itu, setelah menyaksikan film documenter, tiba-tiba tidurku tak nyenyak. Bayangan pepohonan dalam benak tak berhenti menghantui. Membuatku ingin melihat hijau alam itu juga.

Sejak ketidaknyenyakan itulah, lahirlah rencanaku untuk pergi ke hutan belakang rumah, dekat sungai Brantas, Kediri, Jawa Timur. Kebetulan rumah kakakku dekat dengan sungai Brantas. Dan tepat di daerah belakang rumah terdapat semacam hutan yang mengelilingi sungai Brantas.

Matahari tak begitu terik, aroma sejuk pagi pun masih terasa nyata. Pukul 6 pagi. Waktu yang sangat pas untuk bersepeda. Tak lupa handphone dan headset di genggaman. Tujuannya untuk mencapture keindahan alam yang akan kujumpai dan mengiringi perjalananku dengan alunan musik. Isn’t a great idea?

Hutan Berdempetan Membentuk Trowongan

Perlahan kuayunkan pedal sepedaku. Melewati jembatan, aku disambut oleh pohon-pohon yang saling berdempetan membentuk celah seperti terowongan, tempat orang melintasi hutan. Kuurungkan niatku untuk memakai headset. Suara cuitan burung, suara gerakan pohon oleh angin, suara jangkrik dan serangga lainnya membuatku terbuai. Sesekali kupejamkan mata, kutarik napas yang dalam. Sensasi itulah yang kuinginkan sejak semalam. Sensasi yang hanya akan diberikan oleh hutan.

Selanjutnya kayuh sepedaku mempertemukanku dengan tepian sungai brantas. DIsini aku bisa melihat langit dan awan dengan jelas. Sebelumnya pandanganku tertutupi oleh lebatnya hutan. Awan ketika itu sungguh indah. Kuabadikan beberapa agar bisa kubagikan dengan kalian, dreamers!

Bisa melihat pemandangan sungai Brantas

Disinilah aku bertemu orang itu. Orang yang mengenakan pakaian penuh dengan lumpur. Orang yang menghampiriku perlahan. Seperti yang kukatakan, aku sangat takut apalagi kulihat di belakang beliau ada laki-laki lain yang nampaknya teman dari orang ini.

Kualihkan bapak itu dengan memulai percakapan.

“ Monggo pak hehe” Sapaku dengan senyum ketakutan

Respon orang itu tak bisa kujelaskan, seperti terkejut ketika kusapa.

“ Wonten napa teng mriku pak? Napa kerja tho?” sambungku memperlambat orang itu agar tak semakin mendekat dan aku perlahan mundur menjauh.

“ Iyo.. iku nggarap nganu..” Jawab orang itu, aku tak begitu mendengar dengan jelas.

“ Oh.. ngaten, mboten nggarap kolam lele tha pak?” Kulanjutkan agar percakapan ini semakin panjang.

“ Ora, iki ngeruk tanah, mengko tanah e di jual.” Jawab bapaknya

“ Ijenan? “ sambungnya singkat

“ Mboten pak, karo rencang teng mriku tasik” Jawabku berbohong.

Biar kujelaskan, tentu saja aku berbohong disini. Sudah kukatakan AKU TAKUT SETENGAH MATI. Setidaknya dengan memberi info kalau aku tidak sendirian, bapak itu mengurungkan niatnya, pikirku.

Setelah ini percakapan menjadi tidak berlanjut dan hening. Aku yang berusaha sekuat tenaga untuk membuat percakapan ini berlangsung lama agar aku bisa kabur, kini aku membuat strategi baru.

“ Pak, boleh saya foto? Untuk menulis pak” Sahutku dengan wajah memohon

Ternyata respon Bapak itu tidak terduga. Beliau tampak tersipu malu. Rasanya seperti beliau senang sekali ku minta foto.

“ Waduh… “ Jawabnya dengan salah tingkah memikirkan gaya

“ Ya wes monggo” Jawabnya, menginjinkan

“Ayo..” Sambungnya sambil menggerakkan tangan, memberi isyarat kepada ku untuk mendekat.

“Mboten kaleh kula pak, bapak mawon, ijenan, kula sing foto saking mriki” Jawabku mengakali.

Lantas bapaknya berdiri tegap dengan kakunya.

Merasa gemas, aku merespon “ Anu pak, pose, bergaya sedikit pak sing keren..” Sahutku dengan nada bercanda.

Lalu bapaknya malu-malu dengan berpose sesuai dengan gaya yang aku contohkan. Melihat hal ini aku tertawa kecil dalam hati. Such a memorable experience.

Sembari mengucapkan terima kasih, aku berpamitan untuk kembali.

Setelah berpamitan, bapak itu  kembali ke tempat teman-temannya berada dan seperti  terdengar beliau menyombongkan diri perihal kumintai foto. Aku pun tertawa kecil mendengarnya.

 

Satu Langkah, dua Langkah.. aku terhenti sejenak menghentikan langkahku. Dengan perasaan sedikit ragu, aku kembali ke tempat tadi dan menghampiri bapak tadi beserta teman-temannya yang sedang bekerja.

Dipikiranku ketika itu, aku benar-benar berencana hendak menulis kejadian tadi, namun aku membutuhkan lebih banyak foto. Jadi aku berencana untuk menjepret teman-teman bapak tadi sekalian.

Pak Yitno, Pak Jumadi, Pak Solikin : Trio Pekerja Keras Super Ramah

Tak seperti yang kupikiran, mereka sungguh ramah. Sangat ramah. Bahkan salah satu dari mereka awalnya ada yang bertelanjang dada dan memintaku untuk menjauh sembari mencari bajunya. Meskipun tampak sepele, perbuatan itu merupakan bentuk menghargai diriku sebagai seorang perempuan.

Tiap memikirkannya membuatku terhenyuh sekaligus merasa bersalah karena telah berpikiran buruk tentang mereka.

Kami berbincang cukup lama, sampai-sampai aku hafal betul dengan nama mereka bertiga. Pak Yitno, Pak Solikin, dan Pak Jumali. Mereka telah bermalam disana, seminggu lamanya. Dan kata pak yitno, masih ada berbulan-bulan lagi untuk merampungkan pekerjaan itu.

Lahan yang mereka gali

Mendengarnya aku sempat terpikir apakah mereka makan dengan baik disana, apalagi tentu saja, di malam hari akan banyak nyamuk ganas yang kelaparan.

Setelah banyak berbincang, kali ini aku benar-benar berpamit kepada mereka bertiga. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih karena telah menyempatkan waktunya untuk berbincang.

Sungguh, salah satu pengalaman yang akan kuingat sepanjang hidupku. Pengalaman yang unik dan berharga. Tak hanya bisa menikmati nikmatnya berkunjung ke hutan, aku juga mendapat hadiah kejutan dengan bertemu Pak Yitno, Pak Jumali, dan Pak Solikin yang ramah.

They really made my day.

Its makes me happy in whole day. Such a moodbooster.

Thank u Pak Solikin, Pak Jumali, Pak Yitno, and the last but not leats our Brantas riverside tree. I hope we’ll meet again in the future!


XOXO,

Post a Comment

0 Comments