Baju yang dikenakan orang itu dipenuhi lumpur. Jika diperhatikan, bisa terlihat beberapa bagian yang robek di bajunya. Dari kejauhan berjalan mendekat. Semakin mendekat. Aku yang saat itu tengah sendirian di tengah hutan mencoba untuk berfikir positif. “Ah, mungkin orang itu hanya lewat saja”. Nyatanya, orang itu benar-benar menghampiriku. Tak dapat kupungkiri, aku takut setengah mati. Wajah orang itu tak nampak bersahabat. Tak ada garis senyum sedikitpun di wajahnya. Dalam benak, sudah terbayangkan banyak scenario buruk. Tidak usah kujelaskan. Kalian bisa mengira sendiri apa skenario buruk ketika ada seorang gadis remaja sendirian di hutan dan dihampiri lelaki berpenampilan menyeramkan. Pikiran untuk kabur tentu saja ada dan sejujurnya aku benar-benar hendak untuk lari meninggalkan sepedaku.
Sebelum melanjutkan, bagaimana aku bisa berakhir di tengah hutan?
-----------
Pernahkah kalian merasa terinspirasi setelah melihat film?
Baru saja terjadi padaku beberapa hari yang lalu. Tidak pernah
menyangka kalau akan tiba saatnya aku melihat documenter movie, apalagi tentang
tumbuh-tumbuhan juga pepohonan. Aneh, tapi suatu kemajuan yang baik.
Namun, ada suatu perasaan yang muncul selagi aku menonton
documentary movie itu. Seperti rasa rindu. Rindu terhadap alam. Tentu saja,
bagaimana tidak? Sudah terhitung berapa bulan sejak aku pergi mampir ke
hutan atau destinasi alam.
Biar kugambarkan. Bertajuk Healing Documentary : Dear Tree, film documenter ini membahas tentang salah satu pohon yang telah hidup dan bertahan melihat lika-liku kehidupan selama lebih dari 500 tahun. Iya setengah abad!
Healing Documentary Dear Tree |
Melihat pohon itu dari layar laptop, entah kenapa muncul berbagai perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin jika bisa dianalogikan, seperti melihat barang bersejarah berusia 500 tahun yang dipajang berderet di museum. Sakral dan suci.
Bisa dikatakan Pohon yang bernama Poknang dalam dialek Pulau Jeju,
Korea Selatan ini sudah menyaksikan banyak perubahan kehidupan, dari
menyaksikan manusia yang perlahan menua sampai menyaksikan manusia terlahir
kembali. Ya, pohon Poknang ini adalah saksi perputaran kehidupan manusia.
Poknang : 4 pohon yang berusia lebih dari 500 tahun |
Di Malam yang sejuk berkat air hujan itu, setelah menyaksikan film
documenter, tiba-tiba tidurku tak nyenyak. Bayangan pepohonan dalam benak tak
berhenti menghantui. Membuatku ingin melihat hijau alam itu juga.
Sejak ketidaknyenyakan itulah, lahirlah rencanaku untuk pergi ke
hutan belakang rumah, dekat sungai Brantas, Kediri, Jawa Timur. Kebetulan rumah
kakakku dekat dengan sungai Brantas. Dan tepat di daerah belakang rumah
terdapat semacam hutan yang mengelilingi sungai Brantas.
Matahari tak begitu terik, aroma sejuk pagi pun masih terasa
nyata. Pukul 6 pagi. Waktu yang sangat pas untuk bersepeda. Tak lupa handphone
dan headset di genggaman. Tujuannya untuk mencapture keindahan alam yang akan
kujumpai dan mengiringi perjalananku dengan alunan musik. Isn’t a great idea?
![]() |
Hutan Berdempetan Membentuk Trowongan |
Perlahan kuayunkan pedal sepedaku. Melewati jembatan, aku disambut
oleh pohon-pohon yang saling berdempetan membentuk celah seperti terowongan,
tempat orang melintasi hutan. Kuurungkan niatku untuk memakai headset. Suara
cuitan burung, suara gerakan pohon oleh angin, suara jangkrik dan serangga
lainnya membuatku terbuai. Sesekali kupejamkan mata, kutarik napas yang dalam.
Sensasi itulah yang kuinginkan sejak semalam. Sensasi yang hanya akan diberikan
oleh hutan.
Selanjutnya kayuh sepedaku mempertemukanku dengan tepian sungai brantas. DIsini aku bisa melihat langit dan awan dengan jelas. Sebelumnya pandanganku tertutupi oleh lebatnya hutan. Awan ketika itu sungguh indah. Kuabadikan beberapa agar bisa kubagikan dengan kalian, dreamers!
![]() |
Bisa melihat pemandangan sungai Brantas |
Disinilah aku bertemu orang itu. Orang yang mengenakan pakaian
penuh dengan lumpur. Orang yang menghampiriku perlahan. Seperti yang kukatakan,
aku sangat takut apalagi kulihat di belakang beliau ada laki-laki lain yang
nampaknya teman dari orang ini.
Kualihkan bapak itu dengan memulai percakapan.
“ Monggo pak hehe” Sapaku dengan senyum ketakutan
Respon orang itu tak bisa kujelaskan, seperti terkejut ketika kusapa.
“ Wonten napa teng mriku pak? Napa kerja tho?” sambungku
memperlambat orang itu agar tak semakin mendekat dan aku perlahan mundur
menjauh.
“ Iyo.. iku nggarap nganu..” Jawab orang itu, aku tak begitu
mendengar dengan jelas.
“ Oh.. ngaten, mboten nggarap kolam lele tha pak?” Kulanjutkan
agar percakapan ini semakin panjang.
“ Ora, iki ngeruk tanah, mengko tanah e di jual.” Jawab bapaknya
“ Ijenan? “ sambungnya singkat
“ Mboten pak, karo rencang teng mriku tasik” Jawabku berbohong.
Biar kujelaskan, tentu saja aku berbohong disini. Sudah kukatakan
AKU TAKUT SETENGAH MATI. Setidaknya dengan memberi info kalau aku tidak
sendirian, bapak itu mengurungkan niatnya, pikirku.
Setelah ini percakapan menjadi tidak berlanjut dan hening. Aku
yang berusaha sekuat tenaga untuk membuat percakapan ini berlangsung lama agar
aku bisa kabur, kini aku membuat strategi baru.
“ Pak, boleh saya foto? Untuk menulis pak” Sahutku dengan wajah
memohon
Ternyata respon Bapak itu tidak terduga. Beliau tampak tersipu
malu. Rasanya seperti beliau senang sekali ku minta foto.
“ Waduh… “ Jawabnya dengan salah tingkah memikirkan gaya
“ Ya wes monggo” Jawabnya, menginjinkan
“Ayo..” Sambungnya sambil menggerakkan tangan, memberi isyarat
kepada ku untuk mendekat.
“Mboten kaleh kula pak, bapak mawon, ijenan, kula sing foto saking
mriki” Jawabku mengakali.
Lantas bapaknya berdiri tegap dengan kakunya.
Merasa gemas, aku merespon “ Anu pak, pose, bergaya sedikit pak
sing keren..” Sahutku dengan nada bercanda.
Lalu bapaknya malu-malu dengan berpose sesuai dengan gaya yang aku
contohkan. Melihat hal ini aku tertawa kecil dalam hati. Such a memorable
experience.
Sembari mengucapkan terima kasih, aku berpamitan untuk kembali.
Setelah berpamitan, bapak itu
kembali ke tempat teman-temannya berada dan seperti terdengar beliau menyombongkan diri perihal
kumintai foto. Aku pun tertawa kecil mendengarnya.
Satu Langkah, dua Langkah.. aku terhenti sejenak menghentikan
langkahku. Dengan perasaan sedikit ragu, aku kembali ke tempat tadi dan menghampiri
bapak tadi beserta teman-temannya yang sedang bekerja.
Dipikiranku ketika itu, aku benar-benar berencana hendak menulis
kejadian tadi, namun aku membutuhkan lebih banyak foto. Jadi aku berencana
untuk menjepret teman-teman bapak tadi sekalian.
Pak Yitno, Pak Jumadi, Pak Solikin : Trio Pekerja Keras Super Ramah |
Tak seperti yang kupikiran, mereka sungguh ramah. Sangat ramah.
Bahkan salah satu dari mereka awalnya ada yang bertelanjang dada dan memintaku
untuk menjauh sembari mencari bajunya. Meskipun tampak sepele, perbuatan itu
merupakan bentuk menghargai diriku sebagai seorang perempuan.
Tiap memikirkannya membuatku terhenyuh sekaligus merasa bersalah
karena telah berpikiran buruk tentang mereka.
Kami berbincang cukup lama, sampai-sampai aku hafal betul dengan
nama mereka bertiga. Pak Yitno, Pak Solikin, dan Pak Jumali. Mereka telah
bermalam disana, seminggu lamanya. Dan kata pak yitno, masih ada berbulan-bulan
lagi untuk merampungkan pekerjaan itu.
![]() |
Lahan yang mereka gali |
Mendengarnya aku sempat terpikir apakah mereka makan dengan baik disana, apalagi tentu saja, di malam hari akan banyak nyamuk ganas yang kelaparan.
Setelah banyak berbincang, kali ini aku benar-benar berpamit
kepada mereka bertiga. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih karena telah
menyempatkan waktunya untuk berbincang.
Sungguh, salah satu pengalaman yang akan kuingat sepanjang
hidupku. Pengalaman yang unik dan berharga. Tak hanya bisa menikmati nikmatnya
berkunjung ke hutan, aku juga mendapat hadiah kejutan dengan bertemu Pak Yitno,
Pak Jumali, dan Pak Solikin yang ramah.
They really made my day.
Its makes me happy in whole day. Such a moodbooster.
Thank u Pak Solikin, Pak Jumali, Pak Yitno, and the last but not
leats our Brantas riverside tree. I hope we’ll meet again in the future!
XOXO,
0 Comments