INDONESIAKU TANPA KEKERASAN BERBASIS GENDER

 

Pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan rumah tangga tak pernah absen dalam kehidupan kita. Setiap hari, setiap bulan, dan setiap tahun kasus kekerasan berbasis gender semakin marak dan memprihatinkan. Di dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018 (naik dari 2017 sebanyak 348.466). Dan mirisnya, menurut Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor pada webinar Anti Kekerasan Berbasis Gender oleh Puspeka, data yang terlaporkan merupakan fenomena gunung es. Artinya tidak semua kasus tecatat dan terlapor dan diyakini kasus kekerasan terhadap perempuan lebih besar di situasi sesungguhnya.

Dengan adanya pandemi, apakah hal ini menghambat maraknya kekerasan pada perempuan? Jawabannya tidak. Komnas Perempuan menyatakan, kekerasan berbasis gender meningkat 63% selama pandemi. Memprihatinkan bukan?

Tak bisa dipercaya, di dalam masyarakat “modern” ini masih ada budaya dominasi dimana laki-laki dianggap superior daripada perempuan sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Stereotip gender inilah cikal bakal munculnya kekerasan berbasis gender.

Kekerasan pada perempuan bisa ditemukan dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, dan kekerasan sosial. Juga bisa ditemukan di berbagai tempat seperti dalam rumah, tempat kerja, dan naasnya kasus kekerasan juga terjadi di Lembaga Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar.

Iya sekolah, tempat belajar yang seharusnya aman bagi pelajar. Anak-anak juga tak luput dari target kekerasan. Kemen PPPA, Nahar mengatakan, sejak Januari-Juli 2020 tercatat ada 4.116 kasus kekerasan pada anak di Indonesia.

Maraknya kekerasan pada anak disebabkan karena anak rentan dan menjadi “sasaran empuk” bagi pelaku kekerasan. Hal ini disinyalir sebab pola pikir anak yang masih sederhana, adanya ketimpangan gender, dan adanya sikap permisif dan kurang memahami konsep Kekerasan terhadap Anak (KTA).

Penanganan maupun pencegahan mengenai kekerasan pada anak ini harus digerakkan secara sungguh-sungguh mengingat dampak kekerasan pada anak yang sangat mengerikan , diantaranya adalah berdampak pada psikis anak yang bisa menyebabkan trauma yang mendalam.

Meskipun isu kekerasan terhadap perempuan  dan anak telah terkuak sebagai masalah sosial yang serius, namun masih kurang mendapat respon yang memadai, karena kekerasan terhadap perempuan dipahami hanya sebagai persoalan yang sifatnya domestik dan personal, artinya apabila seorang perempuan menjadi korban sasaran tindak kekerasan, maka langsung dikaitkan dengan kepribadian atau kesalahan sendiri.(e-journal.uajy).

Dari hukum sendiri, pada KUHP, hanya mengenal istilah perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan. Tindak pidana perkosaan dalam KUHP perumusannya tidak mampu memberikan perlindungan pada perempuan korban kekerasan seksual, sehingga mereka tidak dapat menuntut keadilan. Dalam hal ini, Maria Ulfah, perwakilan dari komnas perempuan pada webinar anti kekerasan gender oleh puspeka kemarin, mengatakan bahwa ia mengharap RUU PUNGKAS diagendakan kembali untuk dibahas kemudian disahkan.

Sementara menanti RUU PUNGKAS untuk dibahas lalu disahkan, ada upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh kita semua dengan harapan setidaknya mengurangi maraknya tindakan kekerasan ini. Hal tersebut diantaranya menerapkan safeguarding, edukasi terhadap seluruh lapisan masyarakat perihal Tindakan Kekerasan, serta mendukung penerapan peradilan dari perlindungan pada kepentingan perempuan dan anak.

Diharapkan kita semua untuk berpatisipasi dan mendukung sepenuhnya dalam gerakan anti kekerasan berbasis gender guna mewujudkan gagasan Indonesia tanpa kekerasan berbasis gender di masa depan.

Post a Comment

0 Comments